1st Place Short Story Competition 2016 PGMI STAI Al Anwar

Juni 12, 2016

JANGAN KOLOT, INI INDONESIA
OLEH: KAFIYATUL FITHRI
Apa yang sedang aku rasakan sekarang? Miris. Benar apa kata orang tua jaman dahulu semakin tua dunia ini semakin terkikis pula moral manusia masa kini. Namaku Azizah, aku bukan seorang aktivis yang gemar berkoar-koar di depan rektorat, bukan pula anak muda yang berambisi menjadi pejabat publik materialistis. Aku seorang mahasiswi yang saat ini hanya bisa mengelus dada melihat tingkah laku anak SMA yang kekinian di masanya. Berulang kali explore di Instagram memperlihatkan kaki mulus para calon alumnus SMA. Iya kupikir calon karena mereka belum tentu bisa mendengar kata “Selamat Anda lulus” dari kepala sekolah. Usai menghelat hari terakhir Ujian Nasional, tak luput dari genggaman mereka sebuah pilox dan boardmarker warna-warni. Untuk apa lagi kalau bukan menggelar aksi corat-coret di lapangan tengah kota, balapan seenakudelnya, dan hal yang mungkin sedang hangat diperbincangkan adalah aksi foto para punggawa SMA menggunakan pakaian seragam serba mini dengan balutan rok panjang yang disobek jahitannya hingga atas lutut. Gincu sana-sini, peringatan non-muhrim pun tak dapat dihindari, duh! Alangkah lucunya negeri ini.
Ratusan bahkan ribuan likers Instagram menjadi incaran para siswa ‘hitz’ atau sekedar numpang ‘hitz’. Tak luput hujatan dari para commenters mengenai fenomena ini. Followers mulai menampakkan perubahannya yang mulanya hanya ratusan kini melonjak dengan imbuhan huruf K dibelakangnya.
Moral anak bangsa memang tak ada habisnya menghiasi berita. Lalu siapa yang patut disalahkan?
“Loh bukannya sekolah mengajarkan anak didiknya untuk bertingkah laku yang baik?” pemikiran yang logis tapi belum tentu kritis.
Masa remaja adalah saat dimana seorang anak mencari jati dirinya. Bertingkah sesuai keingininannya dan menutupi semua gengsinya. Tapi bukan berarti seorang remaja bisa bebas melakukan itu semua, kodratnya seorang pemuda adalah menjadi generasi penerus dan pelurus bangsa. Menjunjung nama baik keluarga dan dirinya. Namun pada kenyataannya hanya segelintir dari mereka yang mampu menunjukkan prestasi gemilangnya. Sisanya? Lihat sendiri tingkah laku mereka, cium ketek pacar, foto di perempatan lampu merah, skandal pra kelulusan coret baju mini tiada henti, dugem pasca Ujian Nasional, dan hal lain yang tidak bisa kutebak sebelumnya. Sistem pendidikan di Indonesia kurasa sudah cukup baik walau ada ketidakpemerataan sistem di semua sekolah. Pendidikan moral yang ditanamkan di Indonesia sudah dibentuk sejak mereka masih duduk di bangku TK. Kembali berkaca pada diri masing-masing, sudah benarkah pendidikan di negeri kita. Haruskah ada problematika yang akan terus menerpa?. Moral anak muda bangsa kita memang perlu dilakukan rehabilitasi.
“Jah, lu ngomong rehabilitasi kaya pemakai aja”. Gelitik Marcia, teman kuliahku yang rupanya miris juga dengan situasi pendidikan di Indonesia. Dia memandang bahwa sistem yang dijalankan pemerintah mengenai proses pendidikan di Indonesia belum baik.
“Mbak Jah aku nggak lolos SNMPTN, terus yaapa?” tamparan keras bagi mereka yang gagal lolos seleksi SNMPTN tahun ini. Bertebaran ucapan ‘selamat’,’sabar’, dan ‘masih ada jalan lain kok’ diiringi emoji smile di media social manapun. Next trip isSBMPTN, ujian tulis masuk perguruan tinggi negeri yang biasanya atau malah pada umumnya barengan dengan jadwal daftar ulang mahasiswa baru jalur SNMPTN. Dan lagi, bertebaran screencapture formulir SBMPTN di media sosial yang rata-rata menggunakan caption ‘doakan semoga lancar’. Amin.
Kembali ke masa dimana H-100 menjelang Ujian Nasional. Para siswa yang awalnya ogah-ogahan masuk masjid untuk berjamaah, lihat saja masjid sekolah penuh dengan seragam ber-badge XII. Promo bimbingan belajar juga mulai menarik massa dari berbagai wilayah. Pesan broadcast berisi ucapan minta maaf juga tak luput dari perhatianku. Puluhan pesan broadcast masuk di chat BBM. Bahkan ada beberapa teman yang mulai muak dengan kebiasaan itu hingga menuliskan personal message ‘bc-an tok’yang berarti bc(broadcast) mulu, dan ‘iya udah dimaafin kok’.
Sekali lagi, duh! Alangkah lucunya negeri ini.
            Dimana ada Ujian Nasional disitu ada kunci jawaban. Sudah tidak asing lagi bukan dengan aktivitas kriminal seperti ini. Benar-benar merusak moral dan mental anak bangsa. Bagaimana tidak? Mereka yang bertugas menjadi bandar kunci jawaban di sekolahnya dituntut harus pintar menyelundupkan barang. Siswa yang membeli dan memakai kunci jawaban juga terkena dampaknya. Aku yang bersikeras menolak tawaran itu tetap saja mendapatkan bujuk rayu dari para bandar.
            “Lumayan lho satu sekolah dibanderol tiga puluh juta, kalo dapet klien banyak bisa murah bayarnya” Kata seorang teman yang tiba-tiba berbisik di telingaku.
            “Iya kalau kuncimu valid, kalau tidak? Good luck guys!” Kalimat yang sempat terlontar saat aku melihat hampir seluruh teman sekelasku memakai kunci jawaban. Banyak yang mengira aku iri melihat mereka. Nilai kejujuranmu berawal dari sini. Percayalah suatu saat nanti ketika hasil itu keluar atas usahamu sendiri, jelek atau baik hasilnya itu adalah kerja kerasmu dan kau akan bangga mendapatkannya.
***
            Halo dunia perkuliahan, dunia yang penuh dengan birokrasi dan opini, kritik yang cukup cerdik, dan angkatan yang tentu membanggakan.
Halo dunia perkuliahan, perangmu dimulai dari sekarang!
            Berbicara kuliah tentu tak lepas dari yang namanya OSPEK. Isu-isu lucu nan menggelitik pun tersiar dan sampai di telingaku.
“OSPEK kampus A tiap Sabtu Minggu, mampus dah nggak malmingan” pendapat satu.
“OSPEK kampus B tiga hari doing tuh” pendapat dua
“Di kampus C OSPEK nya setahun. Kebayang gak sih dua semester dibentakin terus” pendapat terakhir.
Haruskah proses pengenalan kampus dengan cara mengintimidasi mahasiswa baru? Mungkin itu hanya pandangan mereka yang melihat OSPEK yang terjadi di kampus yang menghalalkan cara itu. Sisi baik dari sistem ini ada beberapa atau mungkin sudah banyak aturan mengenai pelarangan OSPEK menggunakan cara fisik. Ini tentu mengurangi dampak buruk yang terjadi dalam proses pengenalan kampus ini. Seperti yang sudah diketahui OSPEK telah menimbulkan korban akibat caranya yang salah. Berkaca dari sistem OSPEK atau pengenalan kampus di Australia, mereka melakukan hal semacam ini melalui seminar dan workshop di kampus mereka. Dengan cara praktis mereka melakukan hal itu dan tentunya hasilnya pun lebih baik dari sekedar main fisik yang marak terjadi di Indonesia.
Mungkin nilai akademik tidak akan cukup untuk membentuk kepribadian yang baik dan sesuai dengan harapan bangsa. Hidup tidak monoton mempersoalkan teori dan angka. Buat hidup lebih dinamis terasa lebih menyenangkan ketimbang berdiam diri dan rumus dan persoalan yang tak akan mati ditelan dinasti. Senang bukan berarti mewah, tapi senang akan terbawa dalam jiwa bila semua orang sadar akan pentingnya pendidikan moral.
            Jangan kolot, ini Indonesia. Negeri yang perlu dibenahi dan dijaga. Bila pendidikan moral yang dibentuk belum sepenuhnya masuk ke dalam jiwa para pelajar, sudah saatnya kita meluruskan apa yang salah dan meneruskan yang benar.
            Ini secuil kisah. Kisah tentang dunia pendidikan Indonesia yang akan menjadi evaluasi dan introspeksi diri.

http://pgmistaiwar.blogspot.co.id/2016/06/asli-pengumuman-lomba-puisi-dan-cerpen_11.html

You Might Also Like

0 comments